Kepemilikan Properti untuk WNA Dinilai Diskriminatif

Rencana kebijakan properti bagi WNA ini tidak perlu dikhawatirkan karena secara hukum kepemilikan ini tetap dengan status hak pakai atau hak sewa, bukan HM.

Di tengah derasnya pasar tenaga kerja asing, pemerintah kembali menggulirkan wacana kepemilikan terbatas bagiWNA atas properti berupa hak milik satuan rumah susun (HMSRS) atau populer disebut apartemen. Padahal, UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) prinsip masih melarang WNA memiliki hak milik (HM) atau hak guna bangunan (HGB) atas tanah dan bangunan.

Wacana kebijakan kepemilikan terbatas atas properti bagi WNA dianggap diskriminatif bagi pelaku perkawinan campuran, khususnya wanita yang berkewarganegaraan Indonesia ketika menikah dengan WNA. Kok bisa? Selama ini para pelaku perkawinan campur rupanya kesulitan mendapatkan HM dan HGB. Itu pula sebabnya, Ike Farida, seorang advokat yang menikah dengan WN Jepang, memohonkan pengujian UUPA dan UU Perkawinan di Mahkamah Konstitusi (MK).

“Kami melihatnya kebijakan ini ironis, kenapa WNA mendapatkan kesempatan lebih dahulu ketimbang kami, WNI yang melakukan perkawinan campuran ini,” ujar Ketua MasyarakatPerkawinan Campuran (Perca) Indonesia, Juliani Luthan saat dihubungi hukumonline, Senin (06/7).

Juliani mempertanyakan sikap pemerintah yang lebih memperhatikan WNA ketimbang WNI pelaku perkawinan campuran yang selama ini kesulitan memperoleh HM atau HGB. Padahal, sudah sejak lama Perca menyuarakan hak milik atas tanah dan bangunan bagi WNI pelaku kawin campur dengan menggelar sosialisasi, seminar, dan bedah kasus dengan melibatkan para pemangku kepentingan seperti BPN. Banyak anggota Perca Indonesia menanyakan bagaimana aturan hukum sebenarnya.

Lantaran belum ada kejelasan/kepastian dari pemerintah, akhirnya persoalan ini diperjuangkan anggota Perca Indonesia, Ike Farida lewat pengujian pasal-pasal dalam UUPA dan UU Perkawinan yang dianggap merugikan pelaku kawin campur. Dia menganggap rencana kebijakan pemerintah dibolehkannya kepemilikan properti bagi WNA bentuk perlakuan diskirimatif terutama bagi WNI pelaku kawin campur.

“Bagi kami wacana kebijakan kepemilikan properti bagi WNA ini ‘pahit’ ya. Kenapa pemerintah tidak menengok persoalan yang dihadapi WNI pelaku kawin campur yang umumnya tidak memiliki perjanjian kawin (pemisahan harta). Sepertinya, pemerintah lebih melihat pada aspek bisnisnya,” ujar alumnus Hubungan Internasional Universitas Indonesia ini.

Juliani melanjutkan sebenarnya wacana kepemilikan properti bagi WNA ini sudah cukup lama disuarakan komunitas industri real estate Indonesia (Real Estate Indonesia/REI). Puncaknya, beberapa waktu Presiden Joko Widodo sudah mengeluarkan pernyataan bahwa WNA diperbolehkan memiliki properti (apartemen mewah) yang nilainya di atas Rp5 miliar.

“Kan dalam UUPA yang berhak memiliki HM dan HGB haknya WNI, sementara WNA hanya boleh memiliki hak pakai saja. Makanya, kita berharap MK dapat mengembalikan hak kami sebagai WNI agar bisa benar-benar memiliki rumah. Masak kita mau ngontrak terus,” harap wanita yang bersuamikan warga negara Jepang ini.

Beberapa waktu lalu, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan pemerintah tengah menyiapkan regulasi mengenai pembelian properti kepada warga asing di Indonesia. Namun, kepemilikan WNA terhadap properti hanya boleh atas apartemen mewah seharga Rp5 miliar.

DPP Real Estate Indonesia (REI) juga ikut mendorong pemerintah merevisi aturan mengenai kepemilikan properti bagi WNA di Indonesia. Selain memberi keuntungan melalui penerimaan devisa, pemberian hak kepemilikan properti semakin mendorong WNA menjalankan aktivitas bisnis di Indonesia. Kebijakan semacam itu juga wujud agar Indonesia tidak dinilai diskriminatif terkait kepemilikan properti bagi masyarakat termasuk WNA. Karena itu, REI berharap pemerintah segera menerbitkan revisi UUPA atau revisi PP No. 41 Tahun 1996 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia. Revisi ini diharapkan bisa mempermudah orang asing membeli properti di Indonesia.

Dirjen Peraturan Perundang-undangan Kemenkumham Wicipto Setiadi mengaku belum memperoleh informasi soal adanya rencana revisi UU atau Peraturan Pemerintah terkait kepemilikan asing atas properti di Indonesia. “Sejauh ini, saya belum menerima adanya informasi itu. Tetapi, terpenting revisi itu harus melalui pembahasan antarkementerian dulu sebelum sampai ke Kemenkumham,” kata Wicipto kepada hukumonline.

Menurutnya, rencana kebijakan itu harus diharmonisasikan dengan Undang-Undang (UU) terkait kepemilikan hak milik satuan rumah susun (HMSRS) atau apartemen. Sebab, dalam UUPA dan aturan terkait masih menentukan prinsip kepemilikan rumah harus WNI. “Selama ini kan ada pandangan kepemilikan rumah/apartemen harus WNI dan ada yang memperbolehkan WNA memiliki,” kata Wicipto.

“Kalau kepemilikan apartemen mungkin saja boleh dimiliki WNA karena tidak langsung menguasai tanahnya dengan merevisi UU HMSRS. Tetapi, kita belum tahu instansi mana yang mengusulkan ini, saya pernah baca running text Presiden sudah setuju. Tetapi, nanti kita cek lagi.”

Tak perlu khawatir
Dosen Agraria Universitas Andalas, Kurnia Warman menilai rencana pemerintah membolehkan WNA memiliki apartemen mewah di kawasan tertentu seharga minimal Rp5 miliar lebih bersifat kebijakan, tidak terkait kepemilikan status hak atas tanahnya. “Bisa saja kebijakan Menteri Keuangan ini terhadap bank atau developer untuk menjual apartemen dengan harga tertentu,” ujar Kurnia Warman saat dihubungi.

Dia mengingatkan selama ini WNA memang bisa memiliki atau membangun rumah di atas hak pakai atau hak sewa, bukan HM. Tentunya, jangka waktu hak pakai atau hak sewa ini terbatas. “Ini bukan hal baru, di UU Pokok Agraria sudah ada, WNA bisa membangun rumah di atas hak pakai dan hak sewa, tetapi tidak bisa memiliki hak atas tanahnya,” katanya.

“Bisa juga satuan rumah susun dimiliki asing kalau rumah susun itu dibangun di atas hak pakai. Kalau rumah susun dibangun di atas HM, tetap tidak bisa dijual oleh WNA”.

Dengan begitu, menurutnya rencana kebijakan properti bagi WNA ini tidak perlu dikhawatirkan karena secara hukum kepemilikan properti ini tetap dengan status hak pakai atau hak sewa dengan jangka waktu tertentu, bukan HM. “Kemarin saya juga agak heran, banyak apartemen mewah di Jakarta dibangun oleh developer-nya bukan di atas HGB, tetapi dengan hak pakai. Rupanya, pangsa pasarnya orang asing,” ungkapnya.

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt559c83b39ddc8/kepemilikan-properti-untuk-wna-dinilai-diskriminatif

 

5 thoughts on “Kepemilikan Properti untuk WNA Dinilai Diskriminatif

  1. soleman says:

    Salam..maaf bu sy mau tanya klo saya mau menikah dengan orang bangladest..dan perkawinan kami akn berlangsung disana apa saja syarat yg harus sy siapkan dr indonesia ya..trimaksih

  2. ynovita says:

    Ibu, bagaimana kelanjutannya atas Aturan Kepemilikan Property RUMAH landed house yang dibeli WNA, setelah dia menikah dengan WNI ?

    Apakah lebih baik rumah itu dibeli atas nama WNI saja sebelum menikah kemudian membuat prenup marriage ?

    Need advise ..

  3. Adelina R.Hutabarat says:

    Salam ibu.maaf saya mau Tanya ke ibu.syarat menikah dengan WNA British yg rencana akan kami adakan di indonesia.saya seorang PNS Dan saya akan tetap tinggal di Indonesia.
    Terima kasih bu..

Comments are closed.

X